The Margin: Less-Than-An-Inch |
An Exhibition
The Marginalized (27 November - 19 Desember 2010)
Indrawan Prabaharyaka & Widyastuti Prabaharyaka
ViaVia Jogjakarta
OPENING Sabtu, 27 November 2010
“kami keluar dari pekerjaan, terus nanti mau honeymoon backpacking ke daerah-daerah slum di Asia Tenggara, dan mau membuat sesuatu dari itu..”
Begitulah kira-kira statement yang keluar dari pasangan Widyastuti dan Indrawan malam sebelum resepsi pernikahan mereka saat kami berbincang. Saya hanya bisa tertawa, geleng-geleng dan angkat topi terhadap “kenekadan” mereka. Mengapa saya bilang ini tindakan “nekad”? Pertama, mereka akan menjadi newlywed dan mereka keluar dari pekerjaan masing-masing untuk menikah. Bukankah orang pada normalnya setengah mati mencari pekerjaan tetap yang aman lantaran akan menikah? Kedua, pasangan yang baru menikah pergi bulan madu adalah wajar, tapi bulan madu backpacking, ke daerah-daerah kumuh pula? Singkat cerita, tak lama setelah mereka menikah, saya menjadi salah satu pengikut blog yang berisi foto-foto dan cerita-cerita selama perjalanan backpacking mereka. Adalah hal yang menyenangkan bagi saya untuk kemudian berkesempatan mengajak mereka membagikan pengalaman mereka kepada lebih banyak orang lagi melalui sebuah pameran.
“The Marginalized”
Dalam kamus, kata “margin” didefinisikan sebagai “the edge or border of something”. Melalui pameran ini, Widyastuti dan Indrawan menyampaikan kesimpulan dari perjalanan mereka, memberi judul pameran mereka dengan kata tersebut. Berbicara tentang masyarakat yang terpinggirkan, yang berada pada “ambang dan batas”, dampak dari modernisasi laju kota berkembang, dan identik dengan kemiskinan, namun bukan berarti serta merta hanya muram durja yang ditangkap oleh Widyastuti dan Indrawan. Seperti saya kutip pada tulisan pengantar pameran, “Marginal Space As A Hope” yang dibuat oleh Ivan Kurniawan Nasution (Arsitek, Berlage Institute, Rotterdam),
“Indrawan & Widyastuti berusaha mengembalikan marginal makna kepada asalnya dan, dapat dikatakan, memberi makna baru kepada marginal, atau lebih ambisius lagi, menetralkan kata marginal. Karya-karya di sini berisi kritik sosial yang cerdas akan sebuah bentuk lain dari masyarakat atau malah gaya hidup. Di tengah-tengah pengucilan kaum marginal oleh pertumbuhan kota, mereka mampu memanfaatkan apapun (secara literal dan metafora) untuk menjaga kelangsungan hidupnya”
Kaum marjinal seringkali dianggap sebagai masyarakat yang hidup susah dan setengah mati bertahan hidup. Demikian memang kenyataannya, tetapi bukankah kita semua manusia secara kodrati, miskin ataupun kaya, melakukan hal yang sama: bertahan hidup. Lantas kemudian perbedaannya terletak pada sebuah pertanyaan, “apakah lalu kita bisa menikmati hidup kita setelah perjuangan tersebut?” Satu kalimat bersahaja disampaikan dengan manis oleh Agustinus Wibowo (Penulis dan Fotografer),
“We struggle for life and, sometimes, we forget to appreciate it.”
Marjinal adalah batas, pinggir, ya. Tapi miskin dan tidak bahagia? Saya rasa proses pencarian jawabannya akan lebih menarik sambil berdiskusi dengan duo berpameran ini.
+Amanda M. Paramita (ViaVia Alternative Art Space, Jogjakarta)
Slumtraveller.co.nr
darindonesia.blogspot.com
http://www.facebook.com/pages/Insulinde/1185429415394
No comments:
Post a Comment