“kami keluar dari pekerjaan, terus nanti mau honeymoon backpacking ke daerah-daerah slum di Asia Tenggara, dan mau membuat sesuatu dari itu..”
lengkapnya kunjungi pameran mereka di:
The Marginalized (27 November - 19 Desember 2010)
Indrawan Prabaharyaka & Widyastuti Prabaharyaka
ViaVia Alternative Art Space, Jogjakarta
- Globalization and Modernism
Metropolis Asia, atau setidaknya Jakarta dalam anggapan penulis, dibangun oleh kegilaan terhadap modernisme dan sahabatnya, kapitalisme, yang terburu-buru dan instan. Pengagungan dan pemujaan serentak terhadap modernisme telah membentuk struktur kehidupan kota kita serta lapisan sosialnya. Urbanisasi (berasal dari kosa kata Romawi, urbs[1]) massal, memicu perluasan foot print kota dengan dengan cepat, sehingga kota tidak lagi dapat dideskripsikan dengan arsitektur, tapi hanyalah agglomerasi massa terbangun. Bahkan terlalu pesatnya agglomerasi itu, mengakibatkan kota meluas dan meraup desa (baca: kampung) disekitarnya, dan menjadikannya bagian dari kota, kampung kota. Seketika kampung terperangkap ditengah-tengah kota, diantara menara-menara pencakar langit. Peranannya sangat vital bagi kota, hampir lebih dari setengah penduduk Jakarta bermukim di kampung kota, namun seringkali tidak dilibatkan atau tidak dipertimbangkan sebagai salah satu stake holder dalam pengembangan kota. Kota tidak tertarik kepada kaum, tempat, komunitas, yang ter-marginal ini. Kampung dimarginalkan, terpinggirkan, tetap dalam status center and periphery, bukan secara letak geografis, namun dari segi keterlibatannya dalam mengambil keputusan terhadap perkembangan kota. Layaknya kolonialisme dengan bentukan baru, tidak lagi penjajahan secara fisik, tapi secara mental.
2. Emergence of Marginalized space
Margin: the edge or border of something[2].
Berada dipinggir, adalah sebuah area abu-abu (tidak dapat terurai menjadi hitam dan putih lagi), antara terlibat dan tidak. Disatu sisi bagian dari kehidupan kota, namun disisi lain perkembangan kota tidak ditujukan bagi yang terpinggirkan. Marginal seringkali diasosiasikan, setidaknya dalam persepsi penulis, dengan kondisi kehidupan yang buruk, dekat dengan kemiskinan. Terpinggirkan tidak berarti dalam keadaan yang miskin, apakah miskin itu hanya dapat dinilai berdasarkan angka dan statistik. Kembali modernisme telah mengkonstruksi definsi miskin dan kaya dalam persepsi kita dalam bantuk angka, tanpa moral judgement. Miskin dideskripsikan dengan pendapatan dibawah ambang batas rata-rata, terlalu scientific.
Insulade berusaha mengembalikan marginal makna kepada asalnya dan, dapat dikatakan, memberi makna baru kepada marginal, atau lebih ambisius lagi, menetralkan kata marginal. Insulade berisi kritik sosial yang cerdas akan sebuah bentuk lain dari masyarakat atau malah gaya hidup. Ditengah-tengah pengucilan kaum marginal oleh pertumbuhan kota, mereka mampu memanfaatkan apapun (secara literal dan metafora) untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Dalam bahasa inggris disebut resilient. Survival hanya sebagian aspek. Mereka beradaptasi dengan konsekuensi catastrophy yang ada, dan berusaha melenting untuk mencari titik kesetimbangan untuk memenuhi kebutuhan mereka, dari kebutuhan dasar hingga rekreasi. Seperti yang jelas diilustrasikan oleh pameran ini, secara angka mereka terpinggirkan dan miskin, tapi punya banyak cara untuk memanfaatkan apa yang ada dan tidak menerima segala hal dengan begitu saja. Sebuah kamar 2mx1m yang menjadi ruang produksi anyaman disiang hari dan ruang istirahat dimalam hari; gang kota yang sempit namun memacu imajinasi lahir anak-anak untuk menemukan permainan baru; tumpukan sampah yang dijadikan bukit-bukitan tempat berlarian. Sebuah intelejensi spasial lahir. Kesadaran ruang marginal.
3. Epilog: Escaping Marginal
Marginal dapat diasosiasikan dengan minoritas, tidak harus dengan angka pendapatan namun dapat berarti alienasi kultural, seperti yang saya alami sebagai pelajar Indonesia dan muslim yang menjadi minoritas di Eropa. Saya termarginalkan secara kultural, bahkan secara personal. Jelas sebagai seorang muslim di ruang publik Eropa bukanlah lahan yang cukup ramah.
Eropa jauh dari suara adzan yang bersahut-sahutan setiap seperlima hari, Ramadhan di eropa, hampir seperti hari-hari biasa, wanita berpakaian seadanya, diskotik – bar penuh setiap akhir pekan dengan party, bir seolah teh botol, dan sulit sekali mencari masjid sedangkan di Tanah air mushalla dan masjid ada disetiap sudut kota, ada keterbatasan di ruang publik akibat prejudis dan generalisasi terhadap fundamentalis. Ini adalah kultur, tradisi, ruang, yang normatif bagi konteks Eropa, namun meng-alienasi saya sebagai pelajar, orang timur dan muslim. Ruang kota tidak lagi familiar. Proses marginalisasi dapat diakibatkan oleh kultur.
Namun kembali kepada hukum kesetimbangan, dimana resiliansi memicu tumbuhnya ruang-ruang marginal. Kami mengapropriasi ruang apartemen menjadi masjid kami. Ruang sholat kami bentangkan di basement sekolah, diatas kereta yang melaju, di tempat duduk taman kota, hingga keadaan terkstrim di dalam ruang bioskop yang sedang menayangkan film aksi. Tanpa moral judgement baik atau buruk, etis atau tidak, atau yang lebih transedental permasalahan pahala atau dosa. Kesadaran ruang marginal hadir sebagai benteng resiliansi ditengah marginalisasi.
Marginal space could offer, in Foucault terms, a Heterotopias. A space for retreat. A sanctuary. A space to counter privatised capitalistic public space. There’s a hope.
[1] Agglomeration of built mass
[2] The Oxford English dictionary
by Ivan Kurniawan Nasution
Architect, Berlage Institute, Rotterdam.
No comments:
Post a Comment