Sunday, November 28, 2010
The Marginalized, Perjalanan Spiritual Indrawan Prabaharyaka-Widyastuti Prabaharyaka Mempelajari Ironi Hidup
jogjanews.com
Pasangan suami istri Indrawan Prabaharyaka dan Widyastuti Prabaharyaka menjelma menjadi seniman saat memamerkan karya-karya seni rupa mereka di Via-Via Travelers Café Yogyakarta dengan tajuk pameran “The Marginalized” pada 27 November hingga 19 Desember 2010 mendatang.
Awalnya Indrawan Prabaharyaka adalah peneliti, penulis dan ahli mesin juga. Sementara Widyastuti Prabaharyaka seorang desiner, ilustrator dan fotografer.
Kemudian mereka berubah menjadi seniman dengan memamerkan puluhan bentuk karya seni rupa seperti sketsa, fotografi dan lukisan yang mereka buat saat berbulan madu mengunjungi berbagai wilayah di Asia.
Tidak seperti bulan madu yang dilakukan banyak pasangan suami istri baru yang biasanya pergi berdua ke tempat yang romantis, Indrawan Prabaharyaka dan Widyastuti Prabaharyaka malah pergi ke tempat-tempat kumuh yang ada di wilayah Asia.
Rupanya keahlian Indrawan sebagai peneliti dan penulis serta Widyastuti sebagai ilustrator dan fotografer menghasilkan racikan konsep dan eksekusi karya seni yang menarik dan istimewa karena belum pernah dilakukan orang lain sebelumnya.
Perlu ditambahkan juga, mereka berdua juga mempunyai idealisme yang besar ketika memilih mengunjungi tempat-tempat kumuh untuk bisa mengerti, memahami kehidupan masyarakat bawah dan kemudian membagi pengalaman hidup itu kepada orang lain sehingga diharapkan orang lain memahami ada masyarakat lain yang sedang terpuruk dalam kemiskinan.
“Pameran The Marginalized berbicara tentang masyarakat yang terpinggirkan, yang berada pada ambang dan batas sekaligus dari dampak modernisasi kota yang identik menghasilkan persoalan kemiskinan,” kata Amanda M Paramita, art manager Via-Via Alternative Art Space Yogyakarta.
11 tempat di Asia
Pameran The Marginalized memamerkan 57 karya seni rupa Indrawan Prabaharyaka dan Widyastuti Prabaharyaka dalam bentuk 50 fotografi, sketsa (9) dan lukisan (8). 57 karya seni rupa ini dihasilkan dari perjalanan mereka berdua mengelilingi 11 tempat di Asia yang mereka mulai 21 November 2009.
Mereka memulai perjalanan dari Jakarta menaiki kapal PELNI ke Pontianak, Kuching, Miri, Bandar Seri Begawan, Kota Kinabalu lalu naik pesawat ke Manila. Dari Manila mereka berdua menuju Macau, Hongkong, Singapura, Kuala Lumpur, Penang, Jakarta, Bandung dan memamerkan karya mereka di Yogyakarta.
Salah satu fotografi yang dipamerkan pasangan yang menikah satu minggu sebelum berbulan madu ini adalah gambar toilet yang ada di salah satu kapal PELNI yang mereka gunakan sebagai alat transportasi dari Jakarta ke Pontianak. “Kita sampai susah mandi sampai tiga hari di kapal PELNI,” kata Indrawan Prabaharyaka.
Di Manila, pasangan ini sempat bekerjasama dengan sebuah LSM untuk mengajari praktek fotografi bagi masyarakat yang hidup di daerah kumuh di kota Manila. “Nama tempatnya itu Baseco, pemukian kumuh terbesar di Manila,” terang Indrawan.
Di kawasan Baseco ini, Indrawan –Wdiyastuti menciptakan beberapa karya fotografi seperti “Everyone is Artists” serta “Aplaya”. Selain fotografi, mereka juga membuat sketsa berjudul “Women in Sarong” yang kemudian dari sketsa itu dibuat karya lukis berjudul “Maraming Bayani”.
“Karya lukis yang kita buat, sebenarnya dilakukan belakangan, berangkat dari sketsa yang kita buat. Misalnya sketsa nomer 1 itu,” kata Indrawan seraya menunjuk ke lukisan “Maraming Bayani”
Di kota-kota yang lain, Indrawan-Widyastuti juga menghadirkan kehidupan masyarakat yang mereka saksikan melalui fotografi, sketsa serta lukisan. Kehidupan tenga kerja Indonesia di Hongkong misalnya dihadirkan pasangan ini melalui lukisan “Just Another Victoria Park”.
Lalu lalang mobil-mobil bagus di jalanan di Kota Bandar Seri Begawan juga menjadi obyek karya seni lukis oleh Indrawan dan Widyastuti yang mereka tampilkan dalam lukisan “Petrodolar Culture”.
Pemilik Via-Via Café, Mie Corneudeos mengatakan karya-karya foto yang diciptakan pasangan suami istri ini hadir begitu kuat. Pasangan dari Bandung ini tidak hanya membuat foto yang bagus tapi juga pengaturan karya yang dipamerkan juga menarik.
“Foto-foto mereka kuat sekali, mereka tidak hanya bikin foto yang bagus tapi betul-betul konseptual,” kata Mie dengan menambahkan karya-karya yang dipamerkan juga berhubungan dengan tempat Via-Via Café yang berfungsi sebagai tempat bagi para traveler dari banyak negara.
Sementara Ivan Kurniawan Nasution dalam catatan pamerannya menerangkan, karya-karya dalam “The Marginalized” berisi kritik sosial yang cerdas dari kehidupan masyarakat atau bahkan gaya hidup.
Pameran “The Marginalized menggambarkan masyarakat marginal mampu memanfaatkan apapun baik secara literal maupun metafora untuk menjaga kelangsungan hidup mereka. Sebenarnya mereka berhadapan dengan bencana (katastropik) tapi berhasil berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“Kesadaran terhadap ruang marginal hadir sebagai benteng untuk resiliansi (bertahan) ditengah marginalisasi,” tulis Ivan Kurniawan Nasution, arsitek Berlage Institute Rotterdam.
Itulah ironi hidup. Hidup memang tidak seindah syurga. Jadi mari kita nikmati perjalanan spiritual pasangan ini.
Saturday, November 27, 2010
Just Like Heaven
Humans often imagine other life, life they barely tasted. A ravenous person craves for feast. A man at war yearns for peace. A child pictures himself a man. A blue-collar workaholic longs for exotic oceans trip. Every single soul must have been dreaming to visit different places and taste different life with its funny colors, getting lost in their journey.
Taking off your identity that binds you from becoming the person in your dream, becoming a stranger in a nowhere land, getting out from daily routines, but most of all, getting the privilege to observe and absorb the other life, that’s traveling.
Such journey gives us precious lessons. Life out there is not always as beautiful as we dream of, not as majestic as we desire. Everywhere we go; our steps take us to places with the same dull views where people are struggling for life.
That’s our sins as humans. With different norms and ideas, actually we are the same. We struggle for life and, sometimes, we forget to appreciate it.
When the trip takes us to various corners of the earth, open our eyes to see different realities, it can be said that the journey has changed us.
I am sure, that's the journey that changed Indrawan and Widyastuti. Tasting various fragments of life makes them aware of a reality; that humans in different places are also struggling for tomorrow. Rare chance, not all people could see by their own eyes how people in Kalimantan, Malaysia, Brunei Darussalam and the Philippine struggle in different ways.
A bitter sweet journey. It fascinates us with stories of life. Bitter, because many of these people are marginalized by the wheels of time. Sweet, despite of all desperation coming from ruining prides, they still fight for a piece of their dreams.
Various stories with vivid colors blended beautifully in forms of art and visual works produced by the couple.
I was impressed by the scene that of a slum in Manila. One could find a gaiety of poor children enjoying their life in the middle of the frenetic development which supposed to alienate these poor people. Yes, that's a story of life! Irony is the color of life we live.
Journey teaches the traveler to ponder the meaning of life.
Watching the couple’s work, I realized that everyone was gifted with the eyes and ears but only some could palpate the various ironies of the stories of life around them.
We may witness the same slum, but we may not find the excitement of merry laughter voiced by street children. We may see the same red light district, but we may not be able to understand the struggle of these sex workers in facing public scorn. We may be captivated by the grandeur and prosperity of modern buildings in the city, but we probably forget how workers built it day and night just for a few pennies.
That’s the irony of life. Life is not as beautiful as paradise.
Enjoy this spiritual journey and try to find the color the way the couple did!
Travel Writer and Photographer
translated by Ina Parlina
Journalist of The Jakarta Post
Marginalized Space As a Hope
Tulisan ini dibuat sebagai pengantar pameran seorang sahabat, saudara dan teman diskusi, pasangan suami istri Indrawan dan Widyastuti Prabaharyaka, yang dengan nekatnya memamerkan karya foto, sketsa, tulisan dan perasaan melalui Insulinde (http://www.facebook.com/pages/Insulinde/118542941539452). sebuah perjalanan, pencarian dan kenekadan mereka berbulan madu keliling ke berbagai slum di Asia:
“kami keluar dari pekerjaan, terus nanti mau honeymoon backpacking ke daerah-daerah slum di Asia Tenggara, dan mau membuat sesuatu dari itu..”
lengkapnya kunjungi pameran mereka di:
The Marginalized (27 November - 19 Desember 2010)
Indrawan Prabaharyaka & Widyastuti Prabaharyaka
ViaVia Alternative Art Space, Jogjakarta
Metropolis Asia, atau setidaknya Jakarta dalam anggapan penulis, dibangun oleh kegilaan terhadap modernisme dan sahabatnya, kapitalisme, yang terburu-buru dan instan. Pengagungan dan pemujaan serentak terhadap modernisme telah membentuk struktur kehidupan kota kita serta lapisan sosialnya. Urbanisasi (berasal dari kosa kata Romawi, urbs[1]) massal, memicu perluasan foot print kota dengan dengan cepat, sehingga kota tidak lagi dapat dideskripsikan dengan arsitektur, tapi hanyalah agglomerasi massa terbangun. Bahkan terlalu pesatnya agglomerasi itu, mengakibatkan kota meluas dan meraup desa (baca: kampung) disekitarnya, dan menjadikannya bagian dari kota, kampung kota. Seketika kampung terperangkap ditengah-tengah kota, diantara menara-menara pencakar langit. Peranannya sangat vital bagi kota, hampir lebih dari setengah penduduk Jakarta bermukim di kampung kota, namun seringkali tidak dilibatkan atau tidak dipertimbangkan sebagai salah satu stake holder dalam pengembangan kota. Kota tidak tertarik kepada kaum, tempat, komunitas, yang ter-marginal ini. Kampung dimarginalkan, terpinggirkan, tetap dalam status center and periphery, bukan secara letak geografis, namun dari segi keterlibatannya dalam mengambil keputusan terhadap perkembangan kota. Layaknya kolonialisme dengan bentukan baru, tidak lagi penjajahan secara fisik, tapi secara mental.
2. Emergence of Marginalized space
Margin: the edge or border of something[2].
Berada dipinggir, adalah sebuah area abu-abu (tidak dapat terurai menjadi hitam dan putih lagi), antara terlibat dan tidak. Disatu sisi bagian dari kehidupan kota, namun disisi lain perkembangan kota tidak ditujukan bagi yang terpinggirkan. Marginal seringkali diasosiasikan, setidaknya dalam persepsi penulis, dengan kondisi kehidupan yang buruk, dekat dengan kemiskinan. Terpinggirkan tidak berarti dalam keadaan yang miskin, apakah miskin itu hanya dapat dinilai berdasarkan angka dan statistik. Kembali modernisme telah mengkonstruksi definsi miskin dan kaya dalam persepsi kita dalam bantuk angka, tanpa moral judgement. Miskin dideskripsikan dengan pendapatan dibawah ambang batas rata-rata, terlalu scientific.
Insulade berusaha mengembalikan marginal makna kepada asalnya dan, dapat dikatakan, memberi makna baru kepada marginal, atau lebih ambisius lagi, menetralkan kata marginal. Insulade berisi kritik sosial yang cerdas akan sebuah bentuk lain dari masyarakat atau malah gaya hidup. Ditengah-tengah pengucilan kaum marginal oleh pertumbuhan kota, mereka mampu memanfaatkan apapun (secara literal dan metafora) untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Dalam bahasa inggris disebut resilient. Survival hanya sebagian aspek. Mereka beradaptasi dengan konsekuensi catastrophy yang ada, dan berusaha melenting untuk mencari titik kesetimbangan untuk memenuhi kebutuhan mereka, dari kebutuhan dasar hingga rekreasi. Seperti yang jelas diilustrasikan oleh pameran ini, secara angka mereka terpinggirkan dan miskin, tapi punya banyak cara untuk memanfaatkan apa yang ada dan tidak menerima segala hal dengan begitu saja. Sebuah kamar 2mx1m yang menjadi ruang produksi anyaman disiang hari dan ruang istirahat dimalam hari; gang kota yang sempit namun memacu imajinasi lahir anak-anak untuk menemukan permainan baru; tumpukan sampah yang dijadikan bukit-bukitan tempat berlarian. Sebuah intelejensi spasial lahir. Kesadaran ruang marginal.
3. Epilog: Escaping Marginal
Marginal dapat diasosiasikan dengan minoritas, tidak harus dengan angka pendapatan namun dapat berarti alienasi kultural, seperti yang saya alami sebagai pelajar Indonesia dan muslim yang menjadi minoritas di Eropa. Saya termarginalkan secara kultural, bahkan secara personal. Jelas sebagai seorang muslim di ruang publik Eropa bukanlah lahan yang cukup ramah.
Eropa jauh dari suara adzan yang bersahut-sahutan setiap seperlima hari, Ramadhan di eropa, hampir seperti hari-hari biasa, wanita berpakaian seadanya, diskotik – bar penuh setiap akhir pekan dengan party, bir seolah teh botol, dan sulit sekali mencari masjid sedangkan di Tanah air mushalla dan masjid ada disetiap sudut kota, ada keterbatasan di ruang publik akibat prejudis dan generalisasi terhadap fundamentalis. Ini adalah kultur, tradisi, ruang, yang normatif bagi konteks Eropa, namun meng-alienasi saya sebagai pelajar, orang timur dan muslim. Ruang kota tidak lagi familiar. Proses marginalisasi dapat diakibatkan oleh kultur.
Namun kembali kepada hukum kesetimbangan, dimana resiliansi memicu tumbuhnya ruang-ruang marginal. Kami mengapropriasi ruang apartemen menjadi masjid kami. Ruang sholat kami bentangkan di basement sekolah, diatas kereta yang melaju, di tempat duduk taman kota, hingga keadaan terkstrim di dalam ruang bioskop yang sedang menayangkan film aksi. Tanpa moral judgement baik atau buruk, etis atau tidak, atau yang lebih transedental permasalahan pahala atau dosa. Kesadaran ruang marginal hadir sebagai benteng resiliansi ditengah marginalisasi.
Marginal space could offer, in Foucault terms, a Heterotopias. A space for retreat. A sanctuary. A space to counter privatised capitalistic public space. There’s a hope.
[1] Agglomeration of built mass
[2] The Oxford English dictionary
by Ivan Kurniawan Nasution
Architect, Berlage Institute, Rotterdam.
“kami keluar dari pekerjaan, terus nanti mau honeymoon backpacking ke daerah-daerah slum di Asia Tenggara, dan mau membuat sesuatu dari itu..”
lengkapnya kunjungi pameran mereka di:
The Marginalized (27 November - 19 Desember 2010)
Indrawan Prabaharyaka & Widyastuti Prabaharyaka
ViaVia Alternative Art Space, Jogjakarta
- Globalization and Modernism
Metropolis Asia, atau setidaknya Jakarta dalam anggapan penulis, dibangun oleh kegilaan terhadap modernisme dan sahabatnya, kapitalisme, yang terburu-buru dan instan. Pengagungan dan pemujaan serentak terhadap modernisme telah membentuk struktur kehidupan kota kita serta lapisan sosialnya. Urbanisasi (berasal dari kosa kata Romawi, urbs[1]) massal, memicu perluasan foot print kota dengan dengan cepat, sehingga kota tidak lagi dapat dideskripsikan dengan arsitektur, tapi hanyalah agglomerasi massa terbangun. Bahkan terlalu pesatnya agglomerasi itu, mengakibatkan kota meluas dan meraup desa (baca: kampung) disekitarnya, dan menjadikannya bagian dari kota, kampung kota. Seketika kampung terperangkap ditengah-tengah kota, diantara menara-menara pencakar langit. Peranannya sangat vital bagi kota, hampir lebih dari setengah penduduk Jakarta bermukim di kampung kota, namun seringkali tidak dilibatkan atau tidak dipertimbangkan sebagai salah satu stake holder dalam pengembangan kota. Kota tidak tertarik kepada kaum, tempat, komunitas, yang ter-marginal ini. Kampung dimarginalkan, terpinggirkan, tetap dalam status center and periphery, bukan secara letak geografis, namun dari segi keterlibatannya dalam mengambil keputusan terhadap perkembangan kota. Layaknya kolonialisme dengan bentukan baru, tidak lagi penjajahan secara fisik, tapi secara mental.
2. Emergence of Marginalized space
Margin: the edge or border of something[2].
Berada dipinggir, adalah sebuah area abu-abu (tidak dapat terurai menjadi hitam dan putih lagi), antara terlibat dan tidak. Disatu sisi bagian dari kehidupan kota, namun disisi lain perkembangan kota tidak ditujukan bagi yang terpinggirkan. Marginal seringkali diasosiasikan, setidaknya dalam persepsi penulis, dengan kondisi kehidupan yang buruk, dekat dengan kemiskinan. Terpinggirkan tidak berarti dalam keadaan yang miskin, apakah miskin itu hanya dapat dinilai berdasarkan angka dan statistik. Kembali modernisme telah mengkonstruksi definsi miskin dan kaya dalam persepsi kita dalam bantuk angka, tanpa moral judgement. Miskin dideskripsikan dengan pendapatan dibawah ambang batas rata-rata, terlalu scientific.
Insulade berusaha mengembalikan marginal makna kepada asalnya dan, dapat dikatakan, memberi makna baru kepada marginal, atau lebih ambisius lagi, menetralkan kata marginal. Insulade berisi kritik sosial yang cerdas akan sebuah bentuk lain dari masyarakat atau malah gaya hidup. Ditengah-tengah pengucilan kaum marginal oleh pertumbuhan kota, mereka mampu memanfaatkan apapun (secara literal dan metafora) untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Dalam bahasa inggris disebut resilient. Survival hanya sebagian aspek. Mereka beradaptasi dengan konsekuensi catastrophy yang ada, dan berusaha melenting untuk mencari titik kesetimbangan untuk memenuhi kebutuhan mereka, dari kebutuhan dasar hingga rekreasi. Seperti yang jelas diilustrasikan oleh pameran ini, secara angka mereka terpinggirkan dan miskin, tapi punya banyak cara untuk memanfaatkan apa yang ada dan tidak menerima segala hal dengan begitu saja. Sebuah kamar 2mx1m yang menjadi ruang produksi anyaman disiang hari dan ruang istirahat dimalam hari; gang kota yang sempit namun memacu imajinasi lahir anak-anak untuk menemukan permainan baru; tumpukan sampah yang dijadikan bukit-bukitan tempat berlarian. Sebuah intelejensi spasial lahir. Kesadaran ruang marginal.
3. Epilog: Escaping Marginal
Marginal dapat diasosiasikan dengan minoritas, tidak harus dengan angka pendapatan namun dapat berarti alienasi kultural, seperti yang saya alami sebagai pelajar Indonesia dan muslim yang menjadi minoritas di Eropa. Saya termarginalkan secara kultural, bahkan secara personal. Jelas sebagai seorang muslim di ruang publik Eropa bukanlah lahan yang cukup ramah.
Eropa jauh dari suara adzan yang bersahut-sahutan setiap seperlima hari, Ramadhan di eropa, hampir seperti hari-hari biasa, wanita berpakaian seadanya, diskotik – bar penuh setiap akhir pekan dengan party, bir seolah teh botol, dan sulit sekali mencari masjid sedangkan di Tanah air mushalla dan masjid ada disetiap sudut kota, ada keterbatasan di ruang publik akibat prejudis dan generalisasi terhadap fundamentalis. Ini adalah kultur, tradisi, ruang, yang normatif bagi konteks Eropa, namun meng-alienasi saya sebagai pelajar, orang timur dan muslim. Ruang kota tidak lagi familiar. Proses marginalisasi dapat diakibatkan oleh kultur.
Namun kembali kepada hukum kesetimbangan, dimana resiliansi memicu tumbuhnya ruang-ruang marginal. Kami mengapropriasi ruang apartemen menjadi masjid kami. Ruang sholat kami bentangkan di basement sekolah, diatas kereta yang melaju, di tempat duduk taman kota, hingga keadaan terkstrim di dalam ruang bioskop yang sedang menayangkan film aksi. Tanpa moral judgement baik atau buruk, etis atau tidak, atau yang lebih transedental permasalahan pahala atau dosa. Kesadaran ruang marginal hadir sebagai benteng resiliansi ditengah marginalisasi.
Marginal space could offer, in Foucault terms, a Heterotopias. A space for retreat. A sanctuary. A space to counter privatised capitalistic public space. There’s a hope.
[1] Agglomeration of built mass
[2] The Oxford English dictionary
by Ivan Kurniawan Nasution
Architect, Berlage Institute, Rotterdam.
Press Release: The Marginalized
The Margin: Less-Than-An-Inch |
An Exhibition
The Marginalized (27 November - 19 Desember 2010)
Indrawan Prabaharyaka & Widyastuti Prabaharyaka
ViaVia Jogjakarta
OPENING Sabtu, 27 November 2010
“kami keluar dari pekerjaan, terus nanti mau honeymoon backpacking ke daerah-daerah slum di Asia Tenggara, dan mau membuat sesuatu dari itu..”
Begitulah kira-kira statement yang keluar dari pasangan Widyastuti dan Indrawan malam sebelum resepsi pernikahan mereka saat kami berbincang. Saya hanya bisa tertawa, geleng-geleng dan angkat topi terhadap “kenekadan” mereka. Mengapa saya bilang ini tindakan “nekad”? Pertama, mereka akan menjadi newlywed dan mereka keluar dari pekerjaan masing-masing untuk menikah. Bukankah orang pada normalnya setengah mati mencari pekerjaan tetap yang aman lantaran akan menikah? Kedua, pasangan yang baru menikah pergi bulan madu adalah wajar, tapi bulan madu backpacking, ke daerah-daerah kumuh pula? Singkat cerita, tak lama setelah mereka menikah, saya menjadi salah satu pengikut blog yang berisi foto-foto dan cerita-cerita selama perjalanan backpacking mereka. Adalah hal yang menyenangkan bagi saya untuk kemudian berkesempatan mengajak mereka membagikan pengalaman mereka kepada lebih banyak orang lagi melalui sebuah pameran.
“The Marginalized”
Dalam kamus, kata “margin” didefinisikan sebagai “the edge or border of something”. Melalui pameran ini, Widyastuti dan Indrawan menyampaikan kesimpulan dari perjalanan mereka, memberi judul pameran mereka dengan kata tersebut. Berbicara tentang masyarakat yang terpinggirkan, yang berada pada “ambang dan batas”, dampak dari modernisasi laju kota berkembang, dan identik dengan kemiskinan, namun bukan berarti serta merta hanya muram durja yang ditangkap oleh Widyastuti dan Indrawan. Seperti saya kutip pada tulisan pengantar pameran, “Marginal Space As A Hope” yang dibuat oleh Ivan Kurniawan Nasution (Arsitek, Berlage Institute, Rotterdam),
“Indrawan & Widyastuti berusaha mengembalikan marginal makna kepada asalnya dan, dapat dikatakan, memberi makna baru kepada marginal, atau lebih ambisius lagi, menetralkan kata marginal. Karya-karya di sini berisi kritik sosial yang cerdas akan sebuah bentuk lain dari masyarakat atau malah gaya hidup. Di tengah-tengah pengucilan kaum marginal oleh pertumbuhan kota, mereka mampu memanfaatkan apapun (secara literal dan metafora) untuk menjaga kelangsungan hidupnya”
Kaum marjinal seringkali dianggap sebagai masyarakat yang hidup susah dan setengah mati bertahan hidup. Demikian memang kenyataannya, tetapi bukankah kita semua manusia secara kodrati, miskin ataupun kaya, melakukan hal yang sama: bertahan hidup. Lantas kemudian perbedaannya terletak pada sebuah pertanyaan, “apakah lalu kita bisa menikmati hidup kita setelah perjuangan tersebut?” Satu kalimat bersahaja disampaikan dengan manis oleh Agustinus Wibowo (Penulis dan Fotografer),
“We struggle for life and, sometimes, we forget to appreciate it.”
Marjinal adalah batas, pinggir, ya. Tapi miskin dan tidak bahagia? Saya rasa proses pencarian jawabannya akan lebih menarik sambil berdiskusi dengan duo berpameran ini.
+Amanda M. Paramita (ViaVia Alternative Art Space, Jogjakarta)
Slumtraveller.co.nr
darindonesia.blogspot.com
http://www.facebook.com/pages/Insulinde/1185429415394
Tuesday, November 16, 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)