Rentetan kejadian dalam Gerakan 30 September 1965 (G-30-S) adalah bagian dari pengalaman kolektif keluarga saya.
Eyang Kakung dipenjara selama 9 tahun karena dituduh sebagai salah satu kolaborator Partai Komunis Indonesia. Dampaknya adalah trauma kolektif. Sebuah rumah tangga kehilangan tulang punggung keluarga. Juga pandangan buruk dari masyarakat (Ayah saya diusir dari kelas Etika karena dimaki anak PKI oleh gurunya).
Anak-anak Kakung tumbuh tanpa sempat merasakan pengalaman remaja karena harus bekerja sementara Kakung dipenjara. Anak-anak itu berjualan kayu bakar di pasar. Demi mengganjal setengah lusin perut, bubur ditelan untuk menahan rasa lapar. Mungkin dari sanalah anak-anak Kakung mulai memupuk dendam.
Setelah Kakung keluar dari penjara, dia diganjar dengan KTP istimewa oleh-oleh dari pemerintah Orde Baru. Biopolitik. Tanda Eks-Tapol yang ditera di setiap KTP.
Lalu anak-anak Kakung menumbukan dendam. Generasi kedua dari eks-Tapol dipasung hak-hak warganegaranya.
Boneka Kertas Itu
Saya adalah salah satu dari generasi ketiga eks-Tapol. Malam ini saya saksikan diorama elegi PKI.
Selama lebih dari 60 menit, saya menyaksikan hantu-hantu masa lalu yang terekam dalam boneka kertas. Warna merah menyala itu mencekat.
Kenangan saya menjelajah ke masa lalu. Rekonstruksi ruang dan waktu ketika Kakung dibawa paksa oleh orang-orang berseragam ke dalam truk. Lalu setelahnya, anak-anak yang menunggu tak pasti kapan Bapaknya pulang dari penjara.
Papermoon membawakan cerita merah ini nyaris tanpa kata. Maka, saya bisa bebas menerjemahkan kisahnya sesuka rasa. Saya menjadi Tupu, anak perindu bapaknya si tukang kayu. Dari Mwathirika, saya belajar bahwa sejarah tidak selalu berhasil menyimpulkan peristiwa-peristiwa dengan sempurna apalagi memuaskan. Tapi saya menemukan pencerahan. Rasa sakit bisa muncul bersamaan dengan keindahan.
Teks oleh Indrawan Prabaharyaka
Foto oleh Widyastuti Prabaharyaka