Wednesday, December 15, 2010

Jogja Istimewa


Selamat datang ke dimensi ke-empat: Ngayogyokarto Hadiningrat!

Kota ini berusia jauh lebih tua daripada Indonesia. Status istimewa yang dipegang Yogyakarta bukan hisapan jempol belaka. Istimewa kotanya, istimewa orangnya.

Dalam bayangan saya, orang-orang Yogya adalah keturunan para antariksawan yang datang ke tanah Jawa dan beranak pinak hingga jadi kita semua. Para antariksawan itu datang dari dimensi berbeda dan kemudian mengembangkan budaya asal manusia tanah Jawa.

Yogyakarta mengikat kuat budaya lokal yang nampak asing bagi manusia-manusia modern. Di sini, orang-orang lalu lalang sehari-hari dengan pakaian daerah: batik, blangkon, dan masih banyak lagi. Bila Yogya adalah sebuah lukisan, maka komposisi, warna, dan rananya mudah sekali dikenali sebagai sesuatu yang Yogyakarta sesungguh-sungguhnya.

Selamat menikmati dan jadi bagian dari riuh-rendah Yogyakarta!


Teks oleh Indrawan Prabaharyaka
Gambar oleh Widyastuti Prabaharyaka

Sunday, December 5, 2010

Mengagumi Kemiskinan

November 2009, kami menikah. Seorang laki-laki anarkis dan perempuan filantropis belajar menyusun rumahtangga.

Dari sebuah obrolan kecil pada kencan pertama menonton Slumdog Millionare, kami mewujudkannya dengan menyusuri ruang-ruang marjinal di beberapa negara. Acak. Berbekal tabungan selama kami bekerja, kami mengembara.
 

Kami menatap kemiskinan dengan penuh kekaguman. Catatan-catatannya terkumpul lengkap dalam kenangan.


Kesimpangsiuran pemikiran muncul pada subjek dan objek karya kami: kemiskinan.
Mengagumi kemiskinan adalah perbuatan yang tidak ajeg. Sebab kemiskinan semestinya jadi sesuatu yang cuma sementara. Kemiskinan bukan sesuatu untuk diabadikan. Bila hari ini miskin dan besok masih miskin, maka kita semua telah gagal.
 

Sayangnya, menghapus kemiskinan bukan perbuatan mudah. Kemiskinan adalah salah satu makhluk dari kotak Pandora yang berkeliaran. Namun seperti dua sisi mata uang, di balik wajah kemiskinan ada harapan.
 

Wajah kemiskinan kami bagikan pada mereka yang jarang menghabiskan waktu untuk menengok sejenak pada kenyataan. Wajah harapan kami angkat untuk keseimbangan. Kerjasama dua wajah tersebut kami harap bisa memberikan sudut pandang berbeda untuk satu hal yang sama.
 

Kelak, ketika kemiskinan sudah nyaris musnah, kami akan berhenti berkarya tentang kemiskinan dan merayakan era baru.



Teks oleh Indrawan Prabaharyaka
Gambar oleh Widyastuti Prabaharyaka kecuali gambar terakhir oleh Ivy Sheila

Friday, December 3, 2010

Merah Dalam Mwathirika


Rentetan kejadian dalam Gerakan 30 September 1965 (G-30-S) adalah bagian dari pengalaman kolektif keluarga saya.

Eyang Kakung dipenjara selama 9 tahun karena dituduh sebagai salah satu kolaborator Partai Komunis Indonesia. Dampaknya adalah trauma kolektif. Sebuah rumah tangga kehilangan tulang punggung keluarga. Juga pandangan buruk dari masyarakat (Ayah saya diusir dari kelas Etika karena dimaki anak PKI oleh gurunya).

Anak-anak Kakung tumbuh tanpa sempat merasakan pengalaman remaja karena harus bekerja sementara Kakung dipenjara. Anak-anak itu berjualan kayu bakar di pasar. Demi mengganjal setengah lusin perut, bubur ditelan untuk menahan rasa lapar. Mungkin dari sanalah anak-anak Kakung mulai memupuk dendam.
Setelah Kakung keluar dari penjara, dia diganjar dengan KTP istimewa oleh-oleh dari pemerintah Orde Baru. Biopolitik. Tanda Eks-Tapol yang ditera di setiap KTP.

Lalu anak-anak Kakung menumbukan dendam. Generasi kedua dari eks-Tapol dipasung hak-hak warganegaranya.

 

Boneka Kertas Itu

Saya adalah salah satu dari generasi ketiga eks-Tapol. Malam ini saya saksikan diorama elegi PKI.
Selama lebih dari 60 menit, saya menyaksikan hantu-hantu masa lalu yang terekam dalam boneka kertas. Warna merah menyala itu mencekat.
Kenangan saya menjelajah ke masa lalu. Rekonstruksi ruang dan waktu ketika Kakung dibawa paksa oleh orang-orang berseragam ke dalam truk. Lalu setelahnya, anak-anak yang menunggu tak pasti kapan Bapaknya pulang dari penjara.

Papermoon membawakan cerita merah ini nyaris tanpa kata. Maka, saya bisa bebas menerjemahkan kisahnya sesuka rasa. Saya menjadi Tupu, anak perindu bapaknya si tukang kayu.



Dari Mwathirika, saya belajar bahwa sejarah tidak selalu berhasil menyimpulkan peristiwa-peristiwa dengan sempurna apalagi memuaskan. Tapi saya menemukan pencerahan. Rasa sakit bisa muncul bersamaan dengan keindahan.




Teks oleh Indrawan Prabaharyaka
Foto oleh Widyastuti Prabaharyaka